Jumat, 12 Juni 2009

WARUGA!!!!! (STONE TOMB) MENJADI SEJARAH DI ANTARA SEJARAH ( THE LOST TOMB)

Hooi… Tonsea!!
So taruh dimana lei ngoni pe otak, Ada beking apa jo selama ini
Sampe samua karja ngoni nda tolak, Dari Sarjana sampe papancuri
Hooi… Tonsea!!
Tu dulu- dulu so nda rupa skarang kang, Torang baku kanal deng baku sayang
Kyapa kwa mo iko tu salah, Biar mo rugi mar torang tetap maso sorga
Hooi… Tonsea!!
Kyapa kwa mo rusak tu Utang klabat? Kyapa dang Cuma sablah mata lestarikan Tumatenden
Kyapa dang tu Batu Nona so nda dapa lia? Kyapa dang tu Tatelu deng Likupang so punung racung merkuri? Kyapa dang tu waruga orang boleh pancuri??
Kyapa dang??? Kyapa dang???
Hooi Tonsea!!
Mo suka torang pe Opo mo tegor? Mo suka tu shio kurur kaseh ancor?
Mo suka torang so nda ada aer? Mo suka torang tinggal sablah aer?
Mo suka Tonsea… Mo SUKA!!!!!!
(Puisi “Tonsea Dilema”,dari Buku Puisi malayu Minahasa Jongen Spoken)


Mungkin teriakan sajak malayu manado di atas belum dapat dimengerti sebagian orang, tapi buat saya itulah konsep yang sedang di tuai didaerah minahasa utara, daerah saya sendiri.. betapa memiriskan hati ketika mendengar dan melihat ada oknum - oknum yang dengan sengaja merusak fondasi budaya, ornament bangunan yang telah lama dibangun dan disusun oleh para nenek moyang kita dengan sengaja, yang lebih menyakitkan hati lagi setiap barang yang di temukan itu dijual kepada oknum yang tidak mengenal adat dan budaya.
Tanggal 13 mei 2009 saya meluncur ke pameran SULUT Fair diseputaran kayuwatu, di antara sebagian atraksi pertunjukkan stend dari berbagai daerah di Sulut bahkan ada pula yang dari luar daerah, betapa bangganya stend minahasa utara berdiri kedua paling depan deretan pintu masuk pameran dengan menampilkan kemegahan potensi budaya yang tak ternilai. Misalnya saja Waruga, pancurang Tumatenden, Tanjung Pulisan, Pulau Gangga, Pulau Lihaga air terjun Tunan talawaan dan lain- lain. Salah satu potensi budaya yang paling menarik hati saya adalah Kuburan Tua atau yang di sebut WARUGA.

Tanggal 23 mei 2009 pagi saya tercekat bangun dari mimpi melihat sebuah pesan pendek di telpon genggam saya yang dikirim dari steleng Mawale Movement Tomohon bernama Greenhill Weol yang membuat darah saya seakan- akan sudah tidak ada lagi dalam tubuh : “ada waruga yang dicuri!!, informasi dari dr. Ives Dungus, Waruga terletak dilokasi perkebunan Koloay atau Opa kandung dari informer tersebut”. Ada kejanggalan dalam hati ini ketika membayangkan hal itu, apa maksud dari semua ini? Setelah berkonfirmasi dengan segenap teman - teman di seluruh steleng Mawale Movement daerah Minahasa Raya, Dengan Suzuki Manguni shogun, motor kesayangan saya, cepat melesat kearah rumah Charlie Samola, anggota gerakan mawale Movement wilayah Kalawat bawah. Berbagai informasi saya simpan untuk sebuah tulisan nantinya tapi pengusutan dan penyelesaiannya biarlah teman saya Charlie dan semua teman- temannya yang akan menyelesaikannya. Di sela – sela pembicaraan, kamipun merasa sempat mengumpulkan informasi tentang keberadaan Waruga, arti, nilai dan tujuannya.

Waruga atau kuburan tua adalah peti kubur peninggalan kebudayaan megalithic orang minahasa yang berkembang awal abad ke 13 SM, tapi kemunculannya di tafsir sekitar abad ke 16 pertengahan. Waruga pertama muncul di daerah bukit kelewer, Treman dan Tumaluntung dan terus berkembang diberbagai daerah di sulawesi utara sampai awal abad 20 masehi.
Menurut sejarah tertulis dan tuturan, waruga berasal dari bahasa Tombulu (salah satu dari anak suku minahasa) dari kata Wale maruga yang berarti; rumah dari badan yang akan kering, sedangkan dalam arti lainnya wale waru atau; Kubur dari domato (jenis tanah lilin) yang isinya tubuh yang akan hancur. Umur Waruga tidak dapat dipastikan karena bangsa Minahasa pada saat itu belum mengenal tulisan namun berdasarkan berbagai sumber waruga telah ada sebelum zaman kristianisasi atau sebelum abad 16 masehi. Waruga terdiri dari dua bagian yaitu bagian badan dan bagian tutup. bagian badan berbentuk kubus dan bagian tutup berbentuk menyerupai atap rumah.

Waruga berfungsi sebagai wadah penguburan mayat atau orang yang sudah meninggal. Pada zaman pra-sejarah masyarakat minahasa percaya bahwa roh leluhur memiliki kekuatan magis sehingga wadah kubur mereka harus dibuat sebaik dan seindah mungkin dan hal yang paling menarik ialah setiap waruga (kuburan tua) itu dibuat oleh orang yang akan meninggal itu sendiri dan ketika orang itu akan meninggal dia dengan sendirinya akan memasuki waruga itu setelah diberi bekal kubur yang selengkapanya, kelak bila itu dilakukan dengan sepenuhnya akan mendatangkan kebaikan bagi masyarakat yang di tinggalkan.

Di sulawesi utara banyak lokasi yang memiliki waruga. Lokasi itu disebut sebagai situs karena mengandung benda cagar budaya. Pada saat ini situs- situs itu banyak yang sudah menjadi perkampungan atau ladang penduduk dan tidak teratur dengan baik. Kompleks waruga sekarang ini sering juga disebut orang sebagi Minawanua, Makawale atau bekas kampung. Sesuai dengan kepercayaan masyarakat pra-sejarah, situs-situs itu kebanyakan berada pada di daerah ketinggian. Situs waruga di minahasa khususnya minahasa utara antara lain terdapat di Treman (±368 waruga), di Sawangan (±144 waruga), Airmadidi bawah (±80an waruga) dan juga disekitar Kaima, kauditan, tumaluntung, matungkas, laikit, likupang, kawangkoan kuwil, sukur, suwaan dan ada juga ditempat lain di daerah minahasa raya. bahkan ada juga waruga yang ditmukan di daerah luar minahasa, misalnya di jakarta, pantai selatan Banten, bandung, kalimantan dan halmahera. Bentang alam daerah khususnya minahasa utara ini merupakan lembah alluviasi batuan dasar tufa. Lembah alluviasi itu terbentuk oleh material hasil pengikisan lereng gunung Klabat. Gunung berapai inilah yang menyediakan bahan batuan untuk membuat waruga.

Waruga adalah peti kubur peninggalan budaya Minahasa pada zaman megalitikum. Didalam peti pubur batu ini akan ditemukan berbagai macam jenis benda antara lain berupa tulang- tulang manusia, gigi manuisa, periuk tanah liat, benda- benda logam, pedang, tombak, manik- manik, gelang perunggu, piring dan lain- lain. Dari jumlah gigi yang pernah ditemukan didalam waruga, diduga peti kubur ini adalah merupakan wadah kubur untuk beberapa individu juga atau waruga bisa juga dijadikan kubur keluarga (common tombs) atau kubur komunal. Benda- benda periuk, perunggu, piring, manik- manik serta benda lain sengaja disertakan sebagai bekal kubur bagi orang yang akan meninggal.

Peninggalan megalitik merupakan peninggalan masa lalu yang menarik. Baik dari segi sejarahnya maupun dari segi bentuk dan hiasan. misalnya saja pada umumnya waruga sering bermotifkan pahatan gambar timbul yang mempunyai banyak arti. Di sawangan, ada sebuah waruga yang bermotifkan gambar seorang dewa bertanduk yang modelnya persis seperti gambar yang ada di dalam sebuah buku bersejarah & disimpan disuatu museum terkemuka di Eropa bernama “Codex Gigax” atau (Alkitab iblis) (sumber.link www.Minahasa-sastra.blogspot.com-www.tou-minahasa.blogspot.com). ada juga yang bermotifkan gambar binatang sepeti anjing, ular, burung dan lai- lain. Lasimnya setiap motif itu mempunyai arti atau sifat yang sama dari stiap orang yang meninggal, Oleh sebab itu peninggalan megalitik ini sangat bermakna untuk dilestarikan.

Peninggalan batu waruga dan batu- batu lainnya seperti, Watu Sumanti Tomohon (batu yang dipercaya masyarakat sekitar bisa hidup dan bertumbuh), Watu Tumotowa hampir diseluruh wilayah Tontemboan (batu penanda berdirinya sebuah wilayah atau kampung), watu kakese’en Sonder (batu penanda terbaginya suatu daerah menjadi beberapa bagian), Watu Shio kurur, di hampir seluruh wilayah minahasa terdapat batu ini (batu penanda tempat berdiamnya dotu Shio kurur) dan lain-lain sudah diteliti secara arkeologis. Dan Dari penggalan paragraf di atas sepertinya menceritakan sebuah frame kebudayaan yang sudah sangat tinggi pada zaman itu bagi masyarakat minahasa khususnya tonsea, apalagi melihat kondisi masyarakatnya yang sudah sangat menjunjung tinggi kebudayaan lewat pengetahuan tentang arti, makna serta simbol yang dijadikan perantara kepada dan oleh sesuatu yang di anggap bijaksana dan tinggi sangat mempunyai nilai tak terhingga. Artefak sebagai hasil budaya manusia masa lalu, biasanya dibuat bukan hanya untuk keperluan sehari- hari namun kebanyakan ditujukan pula untuk menghormati serta menghargai roh nenek moyang leluhur mereka. Oleh sebab itu dibuat semegah dan seindah mungkin, sesuai dengan status nenek moyang itu semasa hidupnya. Waruga juga adalah sebuah peti kubur terbesar di minahasa yang menpunyai panjang sampai ±5 meter berdiameter 2 meter (waruga ini bisa ditemukan di daerah pinabetengan makawale).
Apa yang kita lakukan sekarang? Pertanyaan mulai timbul ketika terjadi pengrusakan dan pencurian waruga marak didengar saat ini. Apa kita sudah lupa bahwa kita mempunyai kesadaran tentang nilai- nilai estetika yang diterapkan oleh nenek moyang kita ataukah kita akan mencoba merusakkannya hanya dalam kurun waktu yang cepat, sehingga bisa merugikan bahkan membunuh generasi kita selanjutnya… “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati dan menghargai adat, tradisi dan warisan budayanya”. Tapi Kenapa di antara kita ada saja oknum- oknum yang notabene sudah memiliki pengetahuan yang lebih tinggi dari nenek moyangnya tapi dnegan sengaja ingin membunuh akar bangsanya sendiri dengan membanalisasi artefak- artefak yag benilai tinggi, yang ditinggalkan sebagai bekal generasi, yang mempunyai makna sebagai identitas diri harus dilenyapkan? Mungkin kita perlu mawas diri dan melihat lebih jauh kebelakang tentang apa maksud kandungan yang sudah dibangun para nenek moyang karena walaupun kita orang yang pada saat ini sudah mempunyai pengetahuan yang sangat modern dan tinggi padahal tidak memiliki kebijaksanaan seperti para mereka… coba kita renungkan! Pikiran itu terlintas pendek ketika kaki saya sudah berada di atas pedal motr manguni shogun.. dan terus mencari…

Tulisan : Chandra dengah rooroh
www.tonsea.blogspot.com

CONTOH : TATACARA IBADAH DALAM TUTUR MALAYU TONSEA

(data di ambil dari Ibadah pembukaan pagelaran seni budaya Tonsea & alfrets Sundah Cup 2009)

RERAGHESAN WIA SI EMPUNG WITU RAMPORAN

PANGINAYOAN PEPU’NA/ DOA AWAL (Waya Rumondor)
Tunduan : Empung Waidan tembo- tembone
Pemimpin : Tuhan Maha Besar tiliklah
Temboan semengalei- ngalei ungkado’odan
Lihatlah kami yang beribadah demi kerajaanMu
Seneraghes : Siko si sumolo witu ungkelangan
Jemaat : Engkaulah yang menerangi jalan kami
Siko simapekasa umbaya mpiri’
Engkau yang mempersatukan kami semua
Wia reghe- reghesan
Umat manusia di tanah/ bumi ini

Musik bambu/ bia : “Opo Menanatase”
Opo menanatase tembone semengalei- ngalei, tembone se mengale- ngalei
Pakatuan pakalawiden, kuramo ngkelaley dangit teintumo ungkelaley tana’
Kuramo ngkelaley tana teintumo ungkelaley ta tou
Kita tou wia mbawontana karia enimapasusuat uman
Enimapasusuat uman karia wia si Opo menanatas
Si Opo menanatas sia si meta’u ambaya
Sia si meta’u ambaya mamoali wi mbawointana

SIGHI WO TOTOLAN RAGHES/ TAHBISAN & SALAM
Tunduan : Pasungkudan paemananta yaay…
Pemimpin : Persekutuan ibadah kita pada saat ini
I wadi- wadi Ni Empung witu un tarendem Wangko
Disertai oleh TUHAN ALLAH didalam kasih yang besar dalam
Ni Yesus Kristus, wo sinelangkew ni roh kudus. Amin
TUHAN YESUS KRISTUS dan dalam kuasa Roh Kudus. Amin
Domey wo ungkamang ni Empung udit lumekep wia ni kita piri
Damai sejahtra dan kasih karunia dari Tuhan kita menyertai kita semua
Seneraghes : nendo nania akad ka’ure- ure
Jemaat : sekarang dan selama- lamanya
T+S (P+J) : Kumantar, Opo Empung Simawadi/ Allah hadir bagi kita
Opo Empung simawadi sungkudan ne ma’eman
Sumelangkew kita waya witun sena’ Roh kudus
Witu Roh kudus yo Empung kamangen kami piri
Werune u nate ami wo kamangene kami
(Sekatuari mendope umpean)
LELAYAAN/ PUJI- PUJIAN
Tunduan : U dangit tumarnem ang kakendisan ni empung wo un
Pemimpin : Langit menceritakan kemuliaan, dan
Selangkew matudu’an siniwo-Na;
Cakrawala memberitakan pekerjaan tangannya
Unendo mower untarnem witu a nendo wadina, wo
Hari meneruskan berita itu kepada hari, dan
Umbengi me’e ingkaan yaay witu umbengi wadina
Malam menyampaikan pengetahuan itu pada malam
Dai sapa abar wo dai sapa tarnem rikoka nera dai
Tidak ada kabar baik dan tidak ada kata, suara mereka tidak
Patadingan , ta’an serawat near simerew umbwontan,
Terdengar, tetapi gema mereka terpencar keseluruh dunia,
Wo an tarnem near akad aki pepondol reghe- reghesan!
Dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi!
(Mazmur 19:2-5)
T+S(P+J) : Kumantar “Waya A Wunga” /Semua bunga ikut bernyanyi
Waya a wunga senelaya lumaya nateku
Wo’mbaya dukut sinerayaran Empung sipalaya’anta
Ambaya kelang wia’ntana matuntus mange ‘ki s’Empung
Umpeosan reghes domey mekewadi ‘ki s’Empung
Waya a wunga yo senelaya lumaya nateku
Wo’mbaya dukut sinerayaran Empung sipalaya’anta

AKUN AMBAYA ANSA’AP /PENGAKUAN DOSA
Tunduan : Katuari- katuariku, Rerendeman ni Empung!
Saudara- saudara, kekasih dalam Tuhan
Meimo kita senewadi dumukud wia si Empung wo kita
Marilah kita bersama tunduk merendah dihadapan Tuhan dan
Makiwe ampung witu an lewo’ sesiwonta!
Memperoleh pengampunan atas segala kesalahan kita
Tunduan : Kita Manginayo (kita berdoa) …
T+S : Kumantar “Satoro Empung” (Lagu gubahan Satoro Mama)
Satoro Empung elekene kami piri
Nikami yo mengalei uman wia niko
Maan kami dakedo un sesiwon tea dupaan kami yo aki- akiten
Endo wo ‘mbengi aku mengalei
Dukadan ungkelangan wo tamber- tambera…
Nikami udit Empung, dai s’kaketedan
Sa kami dai timombol U rendem ni Empung Yesus

ABAR KAPIDOAN /BERITA KESELAMATAN
Tunduan : Mbaya ang kapidoan witu si Empung-ta, udit rumempe-
Pemimpin : Sesungguhnya keselamatan dari padaNya dekat pada
Rempe’ se tou se meinde’ ni sia, wo angkelawidan nei
Orang- orang yang takut akan Dia, sehingga kemuliaan
Totol wia umbanua-ta
Diam di negri kita
Tarendem wo katundu- tunduan udit yo senasungkud,
Kasih dan kesetiaan akan bertemu
Katerenan wo angkelaleyan udit makambe- kambengan,
Keadilan dan damai sejahtra akan bercium- ciuman
Katundu- tunduan rondor tumour wia un tana, wo ung
Kesetiaan akan tumbuh dari bumi, dan
Katerenan mato- pato- e aki dangit
Keadilan akan menjenguk dari langit
Si Empung udit yo mayo-e ambaya le’os, wo umbanua-ta
Bahkan TUHAN akan memberkati kebaikan, dan negri kita
Yaay yo udit mee wua’na
Akan memberi hasilnya
Ang katerenan yo kumela- kelang witu un saru- saru- Na
Keadilan akan berjalan di hadapanNya,
Wo sumiwo am-bari’us na mamoali lalan
Dan akan membuat jejak kakiNya menjadi jalan
(Mazmur 85: 10-14)
Kumantar : TANTUPE UNGKELAYA/ ALANGKAH BAHAGIANYA
Tantupe ungkelaya’ta sa maleos-leosan
Witu umpatuarian akad kaure- ure
Tantu pe ungkelaya’ta sa maleos- leosan

KUMAPEY KELAWIDAN NE TOU SENARONDOR/
MEMOHON KESEJAHTRAAN NEGRI MAZMUR 144: 12-15
Tunduan : Yo karenganman serinte’ta tuama, udit du’an tetanemen
Pemimpin : Semoga anak- anak lelaki kita seperti tanam- tanaman
Seneraghes : Timou mamoali wangko’ witu ungkamuda- mudaan
Jemaat : yang tumbuh menjadi besar pada waktu mudanya
Tunduan : wo ambaya serinte’ta wewene, udit du’an tumbol
Pemimpin : dan anak- anak perempuan kita seperti tiang- tiang penjuru
Seneraghes : ung kineretan pepaken witu umbale ni wadian
Jemaat : yang dipahat untuk bangunan istana
Tunduan : karenganman mbaya a-gedong-ta yo pudi- pudingen
Pemimpin : semoga gudang- gudang kita penuh
Seneraghes : witu ambaya penapuden le’os
Jemaat : mengeluarkan beraneka ragam barang
Tunduan : karenganman se reringaten-ta yo mamoali riwu- riwuan,
Pemimpin : semoga kambing domba kita menjadi beribu- ribu
Seneraghes : pudu-pudu-riwu aki panguma-anta
Jemaat : berlaksa- laksa di padang- padang kita
Tunduan : karenganman yo se sapita marembur
Pemimpin : semoga lembu sapi kita sarat
Seneraghes : karenganman yo dai sapa sala’ung kelang, dai siapa
Patean, dai sapa pa’osan, wia um pengarian-ta
Jemaat : semoga tidak ada kegagalan, dan tidak ada
Keguguran. Dan tidak ada jeritan di lapangan- lapangan kita
Tunduan : yo lumaya- laya’mo se tou senarondor se udit du’an uni’tu
Pemimpin : berbahagialah bangsa yang demikian keadaannya
Seneraghes : lumaya se tou senarondor se mangopo’ si Empung pakasaan
Jemaat : berbahagialah bangsa yang Allahnya ialah Tuhan
T+S : Kumantar “O Minahasa”
O Minahasa kinatoanku sela rimae unateku meilek ungkewangunanmu
Ngaranmu kendis wia nusantara
Daked cingke pala wo’ngkopra semateles melelowa
Dano tondano, petak wo numamu
Terbur lokon wo’nsoputan mawes umwangunmu
O kinatoanku minahasa kukumeret witu nateku mewangun umbanuaku

BEBACAAN U DENAS WO UN SESINAU (Ipa Melayu)
- Manginayo/ Berdoa
- Bebacaan Denas pnantik/ Membaca nas Alkitab

SESINAU

- Musik/ Instrumen
- Kumantar/ nyanyian sambutan WAYA DAESKU/ TIAP LANGKAHKU
Mbaya daesku tinantu ni Empung wo witu rendemNya kukumelang
Maan reghes madimbui makadiput kumelang witu lalan nyEmpung
Mbaya daesku tinantu ni Empung tumoro mena ungkadomeian
Akad ku toro mange wo dumood witu umpengarian ni Empung

RERAGHESAN/ PERSEMBAHAN
Tunduan : Katuariku senaeman witu si Empungta Yesus Kristus!
Pemimpin : Saudaraku seiman dalam Tuhan Yesus Kristus!
Dakedo un tarendem ni Empung wia ni kita
Begitu besar kasih dan berkat Tuhan bagi kita
Endo nania yaay maimo kita mee persembahan
Saat ini marilah kita mempersembahkan persembahan
Tanu reraghesta si Empung, si kimamang nikita, wo si
Sebaga wujud penyembahan kita pada Tuhan pemberi berkat
Mine-e umbanua leos wia nikita. Kasuatan ma-raghes
Yang memberi tanah/ desa yang baik bagi kita. Sementara itu
Kita kumantar WAYA NE TOU WIA UMBAWONTANA
Kita menyanyi SEGALA BENUA DAN LANGIT PENUH
Waya ne tou wia umbawontana, mai senewadi rumaghes s’Empung
Empung pakasaan tarendem wangko ama-ta rondor tu ngaran ni Yesus
Empung Yesus rondor leos minee ngkaleosan nggenang ni Empung
Way ne tou witu nendo wia muri kumurur mekasa wia si Yesus
Dai si wadina sitoro mee lalan si Yesus man ange s’tor tumulung
Empung Yesus rondor leos minee ngkaleosan nggenang ni Empung
Nikita udit senewadi uman, tumundu u lalan ni Yesus Kristus
Maan weta’yo dakedo mpaosan kumelang witu u lalan ni Yesus
Empung Yesus rondor leos minee ngkaleosan nggenang ni Empung

Tunduan : kita dumukud sumerahkan mbaya reraghesta!
Pemimpin : kita tunduk dalam doa mempersembahkan persembahan kita!
O Empung waidan, kenumo ambaya u reraghes ami
Oh TUHAN, inilah seluruh persembahan kami
Yaay! I raghe ami niko, waya angketare, wo mbaya ang
Persembahan kami kepadaMu ini adalah yang terutama dan yang
Kendis. Kamangene kami wo pekatuan kami piri, se
Terbaik. Berkatilah kami dan berikanlah panjang umur kepada kami
Mengalei ambaya kaleosan wia mbawontana yaay. Amin
Yang selalu berseru untuk kebaikan tanah kami. Amin

PANGINAYOAN PEKASAAN/ DOA UMUM
# Manginayo mimpupus kedungan, wukaan lalan wo kamangen ni Opo Empung
# Sampetan
# …

KANTAREN MEMURI/ NYAIAN PENUTUP
Tunduan : Katuariku senasungkud witu um paemananta rondor!
Pemimpin : Saudara- saudara sepersekutuan dalam iman kepada TUHAN
Maimo kita senewadi rumondor, kita mengalei wia si
Marilah kita berdiri, kita bermohon kepada
Empung, wo sumampet wia ureraghesan ta nendo nania,
TUHAN, dan kita menyatukan penyembahan kita saat ini
Witu un tetambaken memuri: SUNGKUDAN PATUARIAN
Dengan menyanyi lagu penutup Serikat persaudaraan
Sungkudan patuarian yo wangu- wangunen
Keteden um pinasaan witu lalan nyEmpung
Kumelang mawadi- wadi witu ‘mpaemanan
Maleos- leosan kita, marendem- rendeman
Tunduan : Ungkamang won tarendem ni Empung un tarendem witu un tetebusan
Ni Yesus Kristus, wo ung kaketedan witu si Roh kudus udit
Senewadi wo simelangkew nikita piri, nendo nania, sawo’ndo akad
Wia Muri nu muri
Seneraghes : Amin… Amin… Amin… Amin… Amin

Kapepen : Kumantar lelayaan “Lumaya pe nu wia pe reghe- reghesan”

Asal usul Sejarah Kampung TREMAN

.(Data : Sumber Pengolahan Sejarah Desa)


Awal mulanya disekitar pertengahan tahun 1525 dari sekelompok masyarakat kecil dari desa walantakan, sebutan sebuah daerah waktu itu yang sekarang disebut TONSEA LAMA atas pimpinan Dotu lengkong, Wulur dan Rensina bersama- sama dengan Tonaas Paruntu dan Makalew. Mereka bermufakat untuk mencari tempat baru dan dijadikan pemukiman/ wanua tempat tinggal mereka (Tumani), merekapun berkelana ke arah utara mengikuti Kuala Sawangan (Sungai Sawangan) untuk mencari tempat tinggal dan tempat pertama yang mereka temui mereka namakan KELEWER (daerah sekitar pegunungan Dembean).
Selanjutnya setelah kurang lebih 7 tahun lamanya mereka tinggal menetap disitu dengan melalui ritual- ritual adapt, mereka bermohon kepada Opo Empung (Tuhan yang maha Kuasa), melalui kepercayaan waktu itu dengan perantaraan burung Manguni (Doyot) bahwa tempat itu belum dikabulkan maka pada tahun 1532 tempat itu mereka tinggalkan pindah kearah utara dan sampailah mereka disuatu tempat yang mereka namakan tempat itu KERARIS. Juga ditempat itu sesuai dengan apa yang mereka alami ditempat pertama ini juga tidak cocok bagi mereka, maka pada tahun 1539 mereka berpindah lagi menuju arah timur dan sampailah mereka disuatu tempat yang oleh mereka namakan tempat itu TENGETWATU (yang sekarang daerah itu dikenal dengan sebutan ERIS (didaerah selatan perkebunan Wanua treman), tempat ini juga terdapat peninggalan sejarah yaitu Lesung yang terbuat dari batu (TengetWatu).
Pada tahun 1546 mereka (rombongan keluarga) berpindah lagi, juga tempat ini belum direstui Opo Empung (Tuhan yang Maha Kuasa) karena banyak gangguan antara penyakit, serbuan bangsa luar dan lain – lain, maka menujulah mereka kearah timur dan sampailah mereka disuatu tempat yang bernama TONGKEINA. Pada akhir tahun 1691, oleh Dotu Lengkong, Tonaas Paruntu dan Makalew serta rombongnya dengan melalui ritual adat melalui permohonan pada Opo Empung (Tuhan yang Kuasa) dengan perantaraan burung Manguni (Doyot) saat itu mereka mendapat suatu jawaban bahwa tempat ini sudah diKabulkan atau sudah mendapat restu dari Opo Empung (Tuhan yang Kuasa) yang dalam bahasa daerahnya : Tareuman kinalelean ni Opo Empung Pamikiwean atau inilah jawaban dari Tuhan yang Kuasa yang resminya nama desa tersebut adalah : TAREUMAN (saat ini tempat tersebut disebut – sebut dengan naman MINAWANUA yaitu bekas Kampung atau desa dan tempat ini banyak terdapat peninggalan sejarah dimana sebagai bukti Kuburan Tua (Waruga). Diantaranya terdapat Waruga Dotu Lengkong, juga dari peninggalan tersebut tedapat bekas benteng pertahanan yang mengelilingi tebing antara lain batu – batu besar serta rumpun bamboo yang unik yaitu bamboo yang mempunyai duri – duri yang melingkar.
Selanjutnya selama 160 tahun mereka bermukim mereka bergeser lagi kearah utara dan tempat itu mereka namakan TAREUMAN UNET/PINECISAN. Stelah mereka bermukim kurang lebih 40 tahun atau pada tahun 1801 mereka bergeser lagi sedikit kesebelah utara karena rombongan masyarakat ini sudah berkembang besar maka dari sebagian rombongan tinggal menetap ditempat ini dan mereka namakan tempat tinggal ini TAREUMAN WANGKO dan saat ini sudah menjadi tempat tinggal yang abadi dan kekal serta namanya sekarang disebut TREMAN. Menurut data dan penuturan dari para leluhur dan nenek moyang yang diwariskan kepada cucu- cucunya bahwa pada tahun 1684 dan sebelumnya belum ada suatu pemerintahan yang sah oleh karena Dotu dan rombongannya bersama – sama Tonaas Paruntu dan Makalew pada waktu itu selalu berpindah – pindah tempat pemukiman. Baru kemudian di akhir bulan ke- 3 tahun1685 ditempat yang bernama TONGKEINA mereka berusaha membentuk suatu pemerintahan yang dihulubalangi oleh Tonaas. Pada permulaan tahun 1698 dengan resminya mulai diadakan pemilihan Hukum Tua dan sebagai Hukum Tua yang Pertama ialah LENGKONG yaitu sejak 1698 s/d 1718 (selama 20 thn). Seterusnya sampai dengan Hukum Tua sekarang yang ke- 32 ialah Hukum Tua BERNHARD WOLTER JOHANIS TUWAIDAN (periode 2007 s/d 2013).

”Batu Lisung & Batu Nona, Batu Siouw Kurur, dan Tenget Watu! Pembawa Pesan yang mulai hilang Tujuan”

Secuil catatan 2 dari Ekspedisi Tonsea, Makalisung, kema, Sagerat dan Treman
02 - 05 November 2008


Oleh : Chandra D Rooroh
(Budayawan, Pemerhati Masyarakat & Tanah Adat Minahasa)


“(Manusia) menjadi bebas terhadap ikatan- ikatan yang berasal dari luar. Yang mencegahnya bertindak dan berpikir menurut apa yang mereka anggap cocok. Ia akan bertindak dengan bebas jika ia tau apa yang hendak di inginkan, dipikirkan, dan dirasakan. Tapi masalanya ialah bahwa ia tidak tahu, dan karena ia akan menyesuaikan diri dngan penguasa- penguasa yang tidak dikenal dan ia akan mengiyakan hal- hal yang tidak disetujuinya. Semakin ia bertindak demikian, semakin ia tidak berdaya untuk merasa dan semakin ia ditekan untuk menurut! Manusia modern, meskipun dipulas dengan optimisme dan inisiatif, dikuasai oleh perasaan amat tidak berdaya bagaikan orang lumpuh yang hanya mampu menatap malapetaka sebagai tak terhindarkan.- Erich Fromm, Escape from freedom”.

Ada perasaan yang lucu campur malu secara pribadi bagi saya terasa ketika perjalanan kami dimulai di wilayah Tonsea, maklum disinilah saya berasal yaitu di wanua (kampung) kecil yang bernama Treman (bukan Preman ok) diwilayah minawerot, daerah antara Airmadidi dan Bitung dibawah kaki gunung Klabat, 28kilometer dari titik nol kota Manado. Langkah kami (Mawale Movement), Saya, Greenhill weol, Fredy Wowor, Frisky Tandaju dan Bodewyn Talumewo dan Kent Oroh berayun ke desa yang paling jauh diwilayah Minahasa Utara bernama Makalisung langsung disambut dengan hujan dan petir begitu kami sampai disana otomatis basah kuyub yang kami terima, permulaan yang menyenangkan pikir saya dongkol. Untunglah ada sebuah keluarga yang sangat baik hati dapat meluangkan tempat untuk kami berteduh sementara sekalian memberikan informasi tentang keadaan sekitarnya termasuk keberadaan situs Batu Lisung itu. Tanpa ba-bi-bu lagi begitu langit memperlihatkan senyumnya kepada alam untuk membuka jalannya, kami bergegas mencari tempat itu. Di perjalanan yang sedikit menguras tenaga karena pendakian kami sedikit dibingungkan oleh beberapa buah objek yang sering kami anggap bahwa itulah tempatnya (maklum itu pertama kali kami mencarinya), sehingga kami sudah terdampar jauh hampir 1200 meter melewati lokasi itu, kamipun kembali dan berhubung salah satu teman saya (Bode) mempunyai perasaan yang kuat dengan tempat- tempat seperti itu akhiranya bukit yang disebalah timur itu diklaim sebagai tempat situs itu.
Ternyata memang benar inilah tempatnya, tapi selain sulit untuk menaikinya dan Greenhill harus berjuang beberapa melewati barisan tentara alam dan akhirnya harus terjungkal juga karena tagate di tali pohong (semak pohon), sampailah kami dipuncaknya. Ada sekitar lebih dari 20-an batu yang berbentuk lisung ditempat itu. Heran bercampur takjub kami terus mencari lagi sisa batu itu dengan menyisir sebagian timur bukit itu dan tak disangka saya dikagetkan oleh kepakan sayap burung yang lembut namun lebar itu terbang kelangit.”Titikak!” (sejenis Burung Hantu), temanku berkata. Dalam hati saya membenarkan saja karena saya telah melihatnya sendiri, dengan alis yang menyembul keluar dan muka seperti perangai yang marah, mungkin itulah jenis burung Hantu yang dipakai sebagai lambang Minahasa. Yang lebih menarik lagi, burung tadi telah meniggalkan seekor bayi burung tergeletak dengan sayap terbuka. Secara refleks kami menjauhi tempat itu dengan perasaan yang sangat bersalah tapi memang bukan itu tujuan kami, mengganggu keberadaannya. Di sisi jurang bagian utara kami menemukan sebuah batu yang sangat besar lubangnya serta ada guratan- guratan dibagian pinggir batu itu. Hati saya senang sekali, berpikir bahwa tidak banyak orang- orang khususnya orang Minahasa yang mampu melihat benda seperti ini yang konon telah melewati perjalanan waktu ini dan mungkin menitipkan pesan bahwa sebelum kami sudah pernah ada orang (Leluhur) yang telah hidup disini.
“Sebuah konsep latar pertahanan yang kuno namun sangat efektif untuk tempat ini dimana orang- orang dulu bisa berlindung”. Lamunan kami dikagetkan oleh perkataan fredy. Memang benar setelah dianalisa, tempat ini adalah sebuah bukit kecil, dngan bebatuan disekelilingnya, mampu menjangkau penglihatan sampai ke daerah yang sangat jauh kedalam tanah minahasa maupun luar minahasa, dapat mengintai setiap pergerakan disekitar wilayah itu baik teman maupun lawan! “ah, lihat bentuk tempat ini seperti altar pemujaan pada jaman dahulu” Greenhill kemudian menimpali… Ada benarnya juga. Semoga tetap menjadi pembawa saksi untuk generasi selanjunya, kalaupun saja ada orang- orang yang mau peduli dengan tempat yang seperti ini. Setelah puas dan sedikit mengabadikan tempat itu, kamipun turun, dan kembali ke kampong untuk bersiap- siap melanjutkan perjalanan ke desa kema.
Sesudah berpamitan kepada saudara yang telah menerima kami dengan sangat baik tadi kamipun segera meluncur ke Kema dengan menempuh sekitar 20 menit perjalanan. Desa Kema adalah sebuah desa diwilayah bagian tenggara Tonsea- Minahasa yang bisa ditempuh dengan waktu sekitar 45menit dari titik nol kilometer kota Manado. Dengan sebagian besar lanskape wilayah perairan itu pada umumnya masyarakat disini bergantung hidupnya pada mata pencaharian dilaut. Aaah.. cukup penjelasannya, toh saya sudah melihatnya sendiri. Sampai diperempatan desa kema kami berbelok kea rah kanan dan mulai memasuki daerah wisata Batu Nona. Perasaan saya mendadak jadi aneh, demikian juga ketika melihat sebagian teman- teman yang hanya tersenyum- senyum kecut pada saya! Saya menjelaskan bahwa wilayah daerah wisata itu berada dibalik bukit sebelah sana, kataku menyimpulkan!
Namun apa mau dikata, terkejut, terhina, malu, marah, frustasi, hancur, dan hamper menangis, semua semua perasaan bercampur jadi satu keluar saja dari pikiranku begitu melihat tempat itu. Batu Nona, kenapa wajahmu terlihat buruk? kenapa terlihat sendu? Tempat yang dulu sangat asri, sejuk dengan pantai yang jernih kini menjadi keruh, 2 bukit yang hijau disebelah sana yang dulu begitu hijau kini terasa panas dan gersang, perahu- perahu berserakan dimana- mana, rumah- rumah yang entah mempunai ijin atau tidak berdiri dimana- mana, coret- coretan dimana- mana, galian- galian lubang harta karun dari orang- orang yang tidak bertanggung jawab terlihat disana- sini, ada juga segerombolan orang- orang sedang mennggak minuman keras disekitar situ, dan yang lebih mengejutkan saya lagi ada sebuah bangunan permanent bertuliskan “pabrik es mini”. Pikiranku langsung menegaskan bahwa ini bukan daerah wisata batu Nona dulu itu, ini bukan tempat berkunjung/ berwisata dan tempat memperlihatkan betapa cantiknya daerah malesung yang sebenarnya itu, ini PELABUHAN!! Bukan, pelabuhanpun tidak seberantakan ini… tapi yang pasti ini bukan lagi proyek pemerintah pariwisata dan budaya yang dulu telah menghabiskan miliaran rupiah demi pembangunan dan pemeliharaan tempat ini. Apakah orang- orang disekitar sini telah melupakannya?? Dimana canda tawa anak- anak rombongan wisata itu, dimana pedagang gorengan yang selalu mangkal di pinggir Los rumah sebelah sana? Dengan linangan airmata saya berlari sekuat tenaga mencari batu itu, sesampai didepannya, tatapan nanar seakan menatapku didepan mataku sendiri, mungkin hendak mengatakan, “kamana ngana selama ini, kyapa baru datang lia pa qta skarang? (kemanakah engkau selama ini, kenapa baru menemuiku sekarang?”. seluruh tenaga saya keluarkan untuk berteriak sekuat- kuatnya ditempat itu.
Apa dayaku? mungkin tak berdaya saat itu… tidak ada lagi tempat untuk menyombongkan diri dihadapan teman- temanku, tidak ada lagi sebuah tempat diwilayahku yang akan kuberitahu pada dunia bahwa disini ada sebuah fenomena alam yang sangat menarik. pikiranku hancur saat itu, apakah mungkin Waruga yang ada di dalam air itu sudah tidak ada lagi?? Mari kita pikirkan kembali dan kalo siapa saja yang ingin atau pernah ketmpat ini pasti sudah pernah mengenal tempat ini dan saya jamin 100% kalau kalian datang lagi sekarang pasti akan salah jalan. Semua ingatan langsung terhapus menyaksikan kegilaan ini… dengan langkah gontai dan dendam yang sudah tersulut demikian besarnya. saya mengajak teman- teman untuk meneruskan perjalanan ke Sagerat, dengan perasaan kurang semangat saya memimpin rombongan yang harus eberapa kali tersesat karena belum tau pasti dimana lokais situ situ berada, tapi satu semangat yang masih membara memaksakan kami yang pada akhirnya sampai di tujuan.
Sebuah tempat yang bkata orang bernama Erpak adalah suatu tempat yang mungkin buat saya adalah tempat yang fenomenal, lihat saja sepanjang perjalanan tadi, tak satupun ada bebatuan yang saya lihat tapi didepan saya sudah berdiri megah sebuah batu yang diameternya mungkin lebih dari 15meter itu membuat saya terheran- heran sekaligus melupakan kejadian tadi. Itulah Batu siouw kurur. Situs ini berada di geo-strategy 4km dari titik nol kota Bitung. dinamakan seperti itu karena diangkat dari sosok urban legendnya orang Minahasa Opo Siouw Kurur, Dia adalah salah satu dari 3 penasihat Opo Muntu Untu jaman pertamanya hidup orang Minahasa, mengemban tugas sebagai penasihat, Kurir sampai tukang Raghes (algojo pemotong kepala). Dan batu ini adalah salah satu pos persinggahannya diwilayah Tonsea bagian timur, sebelumnya juga dikatakan warga masyarakat bahwa ada juga batu seperti ini dibeberapa wilayah di Tonsea seperti Toka Tawalan & tokaimarang desa Treman dan Bukit Makawembeng! Sedikit berlepas lelah dan bertukar pikiran, sambil menukar persepsi dan data hingga diskusi Grenhill sampai ke pojok Permesta, bersenda gurau kami lakukan disitu sehingga tak terasa perut kami keroncongan dan memaksa kami untuk pulang. Lucunya, saya tidak melihat juru kunci disitu sama seperti tempat- tempat yang lain. Tapi tetap pernyataan saya bahwa tana’ orang Minahasa sampai jauh ke utara tangkai Celebes ini dan sudah ada buktinya! tapi apakah orang minahasa telah menyadarinya? Apakah mereka tau akan kehadiran batu itu?
Sampai di Treman kami langsung dihadiakan kopi pahit panas oleh orang tua saya, kontan saja kami langsung tangingi- ngingi sanang ( tersenyum lebar) karena tadi harus bergulat dengan dinginnya alam. Setelah selesai makan kami berencana untuk istirahat tapi Greenhill sangat bersih keras untuk segera melihat tenget Watu (batu Lisung), sebuah situs yang ada di Treman yang berlokasi di wilayah perkebunan Eris. Dengan langkah gontai tapi masih diikat dengan semangat, tim yang tinggal saya, Freddy dan Greenhill itu mengarah ke selatan desa Treman. Jujur saja, cukup sulit untuk menemukan Tenget Watu karena selama hidup saya baru 2 kali saya melihat keberadaannya disitu. Satu hal yang membuat saya sangat kecewa sesampainya disana setelah beberapa kali bertanya, keadaannya tidak lagi terurus, jalan masuknya saja sulit diketahui orang, bagaimana orang lain akan mengetahuinya, mungkin saja saya menjamin bahwa generasi sekarang orang kampung Treman pun sudah tidak tau lagi tempat ini, tempat yang pernah menjadi Puser in tana’ nya orang- orang Tareuman ( artinya ; yang pertama, atau pembaharuan dari nama desa Treman sekarang), saksi perjalanan yang hebat dari Malesung Besar mencari dunia baru, mungkin saja orang- orang Treman sekarang sudah tidak mengerti lagi bahwa Dotu Tua pembawa leluhur- leluhur Treman adalah orang kuat yang Bergelar Lengkong Waya… mungkin saja disini dimulainya peradaban orang Tonsea kalawat pertama sehingga menjadi rumpun Tonsea yang besar ketika memulai perjalanan yang eksotis dari kelewer dan keraris termasuk eris sampai ke minawanua dan berakhir di Tareuman jaya.. apakah kita sudah mengetahuinya?? Saat ini kita sudah kabur dan sudah tidak tau- menau akan sebenarnya darimana tempat kita berasal, dan mungkin saja sebentar kita akan kehilangan tempat dimana kita berasal… mungkin saja…
Dan mungkin saya harus mengakhiri catatan ini dengan Satu pertanyaan yang melingkar dikepala sampai saat ini, apakah sebagian wilayah di ujung utara Malesung ini masih Tana’ adatnya orang Minahasa Tonsea lagi atau bukan??? Impian saya, mengembalikan harkat dan martabat tanah & masyarakat yang saya cintai ini… (Qta lapas napas panjag lia samua ini, nda sadar minahasa so jaga baganti kuli, dalang hati kita Cuma rasa manages deng batahang diri. Cuma satu yang tatap tabakar dihati, mo ambe ulang qta pe tana deng I jajat U santi!!!, kutipan dari buku puisi bahasa manado JONGEN SPOKEN, Ch. D. Rooroh).

“PINGKAN DAN MATINDAS”

(Oleh : CHANDRA. D. ROOROH)
Budayawan, Pemerhati Masyarakat Adat Minahasa


(Sebuah Resensi Budaya tentang bagian asal usul dari bangsa Minahasa, yang di angkat dari buku novel yang berjudul “Bintang Minahasa”, diterbikan Balai Pustaka pada dekade thn. 1920an Buah karya Seorang Tou Minahasa Hervesien. M. Taulu. Di bawah pengantar Tugas Sastra Indonesia oleh, Hilda Lokoniaty Olivia Pondaag, Siswi kelas III ilmu alami2 SMA N Tomohon. Aktris terbaik Festival Teater Rohani Pesta seni Remaja se-Sinode GMIM 2007)

Cerita ini dimulai sekitar abad 17 dari daerah Tombuluk minahasa, dibagian dekat daerah tanahwangko yang namanya negri mandolang ( di daerah sekitaran kota manado sekarang). yang mengangkat tentang asal- usul minahasa, orang- orang minahasa, sifat- sifatnya, tatakramanya, pergaulannya, terlebih khusus penggambaran kasih setianya perempuan minahasa kepada suaminya (pasangannya). Dengan menokohkan leluhur minahasa seperti Pingkan, seorang wanita yang terkenal elok parasnya, anggun, peramah kepada semua orang, juga Matindas, adalah seorang Tuama minahasa yang berhasil manaklukkan hati pingkan, ia sangat penyabar, baik hati, suka menolong, pekerja keras tapi anak yatim piatu. Di antaranya juga ada tokoh- tokoh pembantu sepeti ibu pingkan, Rumengan ayah pingkan yang merupakn Tonaas (kepala pemerintahan) daerah Tanahwangkok, Raja Loloda Mokoagow, seorang raja Bolaangmongondow yang adil dan bijaksana, Sora seorang nelayan yang gila harta dan Rotulung tak lain adalah adik kandung dari Rumengan atau paman dari Pingkan sendiri.

Alkisah, ada seorang perempuan minahasa yang sangat dikagumi banyak orang karena memiliki kecantikan yang sangat luar biasa elok parasnya dan baik hati. Kecantikannya sudah terlihat sedari dia masih kanak- kanak sehingga waktu dewasa banyak pemuda yang ingin mempersuntingnya. Namanya adalah Pingkan. ketika pingkan masih berumur 12 tahun dia mengalami sakit keras, penyakit yang cukup sulit untuk di mengerti orang hingga sulit untuk di obati (gurumi). Lalu datanglah seorang pemuda dan menolongnya, dia tidak lain adalah Matindas.

Pada waktu orang tua pingkan melihat matindas, ada sesuatu yang lain dari diri pemuda itu dan yakin bahwa dia mampu menyembuhkan pingkan, ketika pingkan mulai sembuh takjublah mereka dan mengucapkan banyak terima kasih.Waktu terus berjalan, sehingga pingkan dan matindas mulai saling mengasihi dan akhirnya menikah. Satu hari, sebuah patung yang dibuat matindas yang menyerupai istrinya hilang dikarenakan ia pergi bernelayan. Dan sialnya lagi pada waktu itu bangsa mindanau yang dikenal perampok sedang menyerbu tanah minahasa bagian pesisir pantai sehingga matindas tertawan oleh mereka. Istrinya pingkan tidak mengetahui hal tersebut, ia berpikir suaminya pergi untuk mencari nafkah. Dengan sabar pingkan menunggu suaminya dengan sukacita, ia memang istri yang sangat baik, masyarakat sekitarpun senang akan pingkan karena kebaikan pingkan sudah dikenal oleh orang- orang banyak sedari pingkan kecil dulu. Matindas beruntung beristrikan pingkan, semakin hari cinta mereka semakin besar. Pingkan tidak pernah mengeluh oleh keadaan hidupnya bersama matindas, ia berkata matindas memang orang yang sangat miskin kerena latar belakang hidup matindas yang tidak mempunyai saudara dan sudah ditinggalkan oleh orang tuanya. Namun alasan itu tidak menyurutkan perasaan pingkan untuk hidup bersama- sama matindas didunia ini. “Kekayaan dan kemulian, boleh hilang sebentar saja, tetapi kasih sayang pingkan kepada matindas takkan hilang dirundung waktu”. Tiada dengan matindas, pingkan serasa mati lekas.

Tanpa sepengetahuan pingkan, patung hilang yang mirip akan dirinya itu telah ditemukan oleh seorang nelayan. Patung itu telah diserahkan kepada seorang Raja dari bolaang mongondow yang bernama Loloda Mokoagow. Raja itu sangat tertarik dengan patung yang diterimanya, sampai- sampai istri- istrinyapun tidak dihiraukan lagi. Suatu ketika ia bermimpi tentang seorang wanita yang menyerupai patung itu, dan ia sangat terpesona dengan pingkan. Kemudian ia menyuruh perajurit- perajuritnya untuk mencari wanita itu. Setelah perajurit- perajurit raja itu menemukan pingkan, mereka membujuknya yang diwakili oleh seorang yang bernama Sora (penasihat Raja yang sangat gila harta) untuk menemui raja Loloda. Tapi sangat disayangkan pingkan tidak menghiraukan semua yang dikatakan oleh perajurit raja. Karena dia menanggap cinta tidak bias dibeli dengan uang, peristiwa inipun diceritakan pingkan kepada suaminya yang telah bebas dari tawanan dan dengan sangat beratnya pelarian diri dari bangsa mindanau itu. Matindas sangat terharu dan mengijinkan pingkan istrinya untuk memilih mana yang terbaik bagi dirinyadan mereka berdua. Tetapi pingkan tetap pada pendiriannya dan matindaslah yang terbaik bagi kehidupannya baik masa lalu, sekarang bahkan sampai selama- lamanya. Kemudian mereka pindah ke Maaron (daerah sekitar wilayah kema, Minahasa utara) dan disanalah mereka hidup bahagia dan matindas menjadi Tonaas disana.

“Bukit kasih, Bukit Miste- Religius”

Bagian kecil catatan dari ekspedisi Pinawetengan, Tonsewer, Kinali dan kanonang
28-29 September 2008

Oleh : CHANDRA. D. ROOROH
(Budayawan Muda Minahasa)


(Masyarakat yang mengalami “masifikasi” adalah masyarakat yang sudah memasuki proses sejarah, tetapi kemudian dimanipulasi oleh golongan elit untuk dijadikan kelompok yang tidak berpikir dan mudah dikendalikan. Proses ini disebut “masifikasi”, lawannya adalah “konsientisasi”, yakni proses untuk mencapai kesadaran kritis.- look on Karl Popper, The Open Society and its Enemies)

Sekali lagi saya terhenyak ketika menginjakkan kaki di tempat ini, Perasaan heran bercampur sakithati berbaur tak karuan dalam pikiranku. Apakah aku berada ditempat yang benar seperti kata teman- temanku ataukah aku sudah berada di tampat lain yang mirip dengan tempat ini?? Ternyata memang benar saya memang berada di tempat yang bernama bukit kasih. Sebuah lokasi wisata alam yang terletak desa Kanonang- kawangkoan, kurang lebih 60 km jarak dari kota manado dan ditempuh dengan waktu 1 jam 30 menit ini sudah berada dihadapanku kembali, yang di jaga kokoh oleh sebuah menara raksasa yang bernama menara kasih.. bersama- sama dengan teman- teman dari ekspedisi mawale movement (sastra_minahasa.blogspot.com) online, diantaranya Greenhill Weol, freddy Wowor, Bodewyn Talumewo, juga teman- teman dari Pinawetengan Muda Frisky Tandaju, Roy Najoan, Frits Singal dan Jolen Kawulur, sampailah kami di tempat ini setelah menempuh perjalanan dari desa Pinawetengan, Kinali dan Tonsewer.
Pijakan kaki kananku jatuh setelah turun dari motor Thunder kesayangan Green dan langsung membuat pikiran menerawang ini ke masa yang lalu, 16 juni 2003 adalah tanggal pertama kali saya datang ketempat ini dengan rombongan yang berbeda dan kapasitas yang berbeda pula. Decakan kagum terus keluar dari mulutku pada waktu itu. Bagaimana tidak berdiri dihadapan saya sebuah bukit yang sangat indah, dilengkapi dengan sekitar 12000an anak tangga yang memadai untuk mengadakan perjalanan religius (via do lorosa), patung- patung leluhur minahasa berdiri begitu gagah yang meninggalkan kesan betapa kentalnya adat dan budaya dan persatuan kita sebagai orang Minahasa, bangunan- bangunan ibadah dari berbagai golongan berdiri berjejeran di lereng bukit yang seakan- akan memperlihatkan hubungan kerjasama antar umat beragama di daerah ini sangat kuat plus sambutan yang ramah dari masyarakat sekitar menandakan bahwa orang daerah sini sudah siap menemui pengunjung dari mana saja, yang artinya akan menyukseskan program WOC (world ocean confrencce) 2009. belum lagi bangunan- bangunan rekreasi berdiri megah disepanjang pandangan bukit itu… begitu saya menginjakkan kaki di anak tangga yang ke 100an lebih terciumlah bau yang menyengat. Ya, itu tidak lain adalah bau belerang yang memang keluar dari tempat ini karena memang tempat ini salah satu lokasi gas alam yang tersebar di beberapa daerah di minahasa.
Yang lebih mengejutkan saya lagi ketika samar- samar saya mendengar suara nyanyian rohani, dengan tergesa- gesa saya langsung naik terus menuju asal suara itu dan benar juga, saya sudah terhenti di jarak 7 meter dari lokasi itu karena didepan saya jelas sekali ada sebuah bangunan besar pertama saya temui yang bernama Gereja Masehi Injili di Minahasa. Yang lebih menyentuh hati saya yaitu sebuah tulisan berbahasa daerah yang tertera dibawah tulisan tadi, (Wale ni Amang Kasuruan Wangko). Dalam hati perasaan senang dan takjub kembali mengelilingi tubuhku, betapa tidak sebagai orang yang dibaptis dari ajaran ini sangat bangga melihat tempat ibadahnya dibangun ditempat seperti ini. Sangatlah sulit untuk mengutarakan ini namun menurut pemikiran saya bahwa agama Kristen sangat lekat sekali dengan budaya serta tradisi orang minahasa. Apa pasal nya, mungkin karena cara penyembahan leluhur kita sama dengan pandangan beribadahnya orang Kristen yang selalu mmenyebut Tuhan Allah yang maha besar (Opo Wailan Kasuruan Wangko), itu saya belum tau pasti. lagi Perasaan yang sulit digambarkan juga adalah ketika saya sampai di patung yang berbentuk leluhur minahasa (Toar Lumimuut) dari gesturnya terlihat sepasang orang minahasa pertama itu seakan- akan sedang menunjuk seluruh tempat didaerah ini. Memang benar kalo kita coba menghadap kearah seperti yang di tunjukkan oleh patung itu maka kita akan melihat hampir seluruh daerah minahasa. Pantas saja kalo tempat itu bernama bukit Kekeretan (tempat meneriakkan sesuatu jika ingin menyampaikan berita kepada seluruh sub-etnis diminahasa dalam hal ini Tontemboan, tolour, tombulu, tonsea, tonsawang, pasan, ponosakan, bantik dan babontehu). secara harafiah juga dipercaya tempat ini seseorang tidak boleh sembarangan membuat keributan karena akan menimbulkan gejala alam seperti hujan dan lain- lain. Banyak masyarakat minahasa juga menyebut tempat ini dengan nama bukit Toar Lumimuut. Sebelum melanjutkan perjalanan melingkari bukit itu Tak sengaja saya menengok kearah kanan bawah dan melihat sebuah setapak kecil kearah hutan bukit seberang dan menghilang, kemudian saya bertanya kepada penduduk disekitar situ, katanya itu adalah jalan ke Watu Pinawetengan. Tapi kenapa tidak diperbaiki dalam hati saya berkata?? Apakah pembangun tempat ini tidak mau memperlihatkan tempat berkumpulnya orang- orang tua minahasa dulu yang merupakan tempat musyawarah, tempat yang notabene melahirkan pikiran- pikiran terbesar sepanjang masa? Apakah ada ketakutan tersendiri dari pembangun tempat ini supay tetap terjaga kesan religius dari objek wisata ini? Lalu kenapa ada patung- patun leluhur berdiri megah disini? kenapa tempat ini dipercaya sebagai tempat pengiriman pesan lisan jaman dahulu? Ataukah ada masalah- maslah daerah kepolisian sehingga menghambat pembangunan daerah wisata ini menjadi lebih besar?
Lamunan saya hancur ketika salah seorang teman saya menepuk pundak saya untuk melanjutkan perjalanan ke atas, ternyata sebagian teman- teman ekspedisi kami sudah meninggalkan kami jauh di atas. Dan kali ini setelah kurun waktu 5 tahun saya kembali kesini. persaan terkejut, decakan kagum, heran bercampur sakithati itu tetap sama diraut muka saya! Bukit kasih yang dulu tak seperti bukit kasih yang sekarang, sampah bertebaran dimana- mana, objek- objek situs- situs yang ada disitu sudah penuh dengan coret- coretan akibat perbuatan tangan jahil, bangunan- bangunan tempat ibadah yang sudah rusak ada dimana- mana, juga pendopo- pendopo tempat peristirahatan yang sudah tidak mempunyai pengaman lagi dan berbahaya bagi para pengunjung karena lokasi wisata ini terletak di lereng gunung ini. Seperti sudah tidak ada yang tidak memperdulikannya lagi. Yang menjadi pertanyaan saya, apakah tampat ini milik seseorang ataukah milik orang Minahasa! Furious mind saya mulai berkecamuk dikepala ini, secara sosiolog apabila seseorang itu mempunyai sesuatu untuk dipelihara maka dia akan menjaganya sampai akhir hayatnya, tapi setelah dia meninggal, siapa yang akan menjaganya apabila anak cucunya tidak ingin menjaganya. Sebaliknya apabila suatu generasi itu mempunyai sesuatu untuk dijaga maka mereka akan menjaganya dan walaupun satu generasi itu hilang masih ada beberapa orang di antara generasi yang baru itu akan tetap menjaganya karena mungkin dari generasi yang lama sudah ada pengkaderisasi untuk sesuatu tersebut. Mungkin benar kata orang- orang bijaksana bahwa lebih baik mencegah daripada mengobati, lebih mudah membuat daripada memelihara.
Kesan religius saya sontak berputar 180derajat ketika saya melihat kembali kedua patung leluhur itu masih berdiri tegak di atas sana dan masih dengan gaya yang sama namun ada perbedaan lain dari kedua wajah itu, dulu dengan bangganya menunjuk dan memperlihatkan seluruh daerah dan generasinya kepada setiap pengunjung yang datang ketempat itu, kini terlihat lusuh, lelah, rusak, kotor, kebanggan mereka berdua seakan- akan perlahan sirna, mulai tidak ada lagi semangat diwajah itu seperti yang dulu, tidak ada lagi jiwa persatuan yang melekat seperti orang minahasa di kedua tubuh itu,serasa ingin mengucapkan bahwa semangat orang minahasa mulai pudar, seperti mewakili tempat itu dan ingin meneriakkan sesuatu (kekeret) kepada kita semua bahwa mungkin ada hal- hal yang perlu di perbaiki, ada hal- hal yang harus kita jaga, ada hal- hal yang harus kita hindari, ada hal- hal yang harus kita korbankan, ada waktu kita bergerak, ada waktu kita melakukan sesuatu sebelum terlambat dan mungkin memang sudah waktunya. karena siapa lagi yang akan membangun sekaligus memelihara daerah minahasa kita kalau bukan kita orang minahasa sendiri. Mngkin saya akan menutup catatan saya ini dengan falsafah yang pernah dikatakan oleh seorang presiden amerika (do not ask whats the country gives you but ask yourself what you give to your country) “jangan pernah bertanya kepada apa yang telah Negara berikan kepadamu ,tapi tanyakanlah apa yang telah kau berika kepada negara. I Jajat U Santi!!!

Torang so gabera!!!

Torang so gabera!!!

IDENTITAS

IDENTITAS

KREATIVITAS

KREATIVITAS

KONTEKSTUALITAS

KONTEKSTUALITAS

Buku - buku Sastra Tonsea

Puisi koleksi Chandra Dengah Rooroh

DENDAM RUMPUT LIAR

DENDAM RUMPUT LIAR

JONGEN SPOKEN

JONGEN SPOKEN

Orang Tonsea

Orang Tonsea